Sabtu, 21 Maret 2009

Pipit dan Perkutut




Terdengar suara siulan ….
Kulihat Nyonyaku sedang bersiul-siul di hadapanku, mencoba untuk membuatku memperdengarkan dengkuran ku. Aku memang berharga untuk Nyonyaku karena ia suka mendengar dengkuran khas ku itu. Karena itu pun dia rela membeli dari Tuanku yang mengajariku untuk mendengkur.

Hari-hariku hampir sama setiap harinya. Setiap pagi,aku dijemur oleh Nyonyaku di bawah sinaran matahari, supaya aku tak kedinginan setelah terkena angin malam hari sebelumnya. Semua makanan dan minuman telah tersedia di dalam tempat dimana aku disangkarkan. Tak perlu aku khawatir dan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan badaniahku. Nyonyaku menyediakan waktunya untuk memperhatikan supaya aku senang dan rajin mendengkur. Aku harusnya bersyukur, banyak burung-burung lain yang iri padaku. Tapi kebutuhan seekor mahluk hidup ternyata tidak hanya sebatas kemakmuran badaniah saja. Mengapa aku justru iri pada Si Pipit yang sering terbang di sekelilingku, dan mampir sebentar menclok di sangkarku untuk memakan sisa-sisa makanan yang berjatuhan.

“Hi Pit, apa kabar hari ini, kurkur”
“Hi Tut, kabar baik. Aku numpang makan lagi ya, susah untuk mencari makanan seenak punyamu ini”.
“Silahkan Pipit, temanku. Krrrr kalau aku bisa, akan kuberikan makanan di tempat makanku, bukan ceceran makanan di dasar sangkar, kurkur”
“Ah tak apa-apa teman ku Utut. Aku sudah bersyukur bisa mencicipi kenikmatan makananmu ini”

“Kemana saja kamu kemarin-kemarin? Kurrr mengapa jua baru menampakkan paruhmu hari ini? Aku tak punya teman mengobrol”
“Iya maaf Utut, aku bepergian dengan kawananku. Kami mengunjungi tempat baru di tengah kota. Tempatnya luas, dan banyak manusia makan di bawah pepohonan rindang. Sisa-sisa makanan mereka pun melimpah. Suasananya sungguh menyenangkan”
“Aku iri padamu. Kamu bisa melihat dunia. Sedangkan duniaku hanya di sangkarku ini. Sayapku sudah kaku karena jarang dilebarkan. Aku tak ingat lagi kapan terakhir aku mengepakkan mereka”.

Si Pipit terdiam melihat sahabatnya yang meratapi nasibnya.

“Utut, setiap mahluk punya takdirnya sendiri-sendiri, kita cuma bisa menjalani sebaik-baiknya. Aku memang bisa melihat dunia, tapi hidupku tidak seenak yang kau kira. Aku hanya pipit yang tidak istimewa dan tidak diindahkan manusia, tidak seperti kamu yang dipuja-puja. Aku harus bersaing dengan pipit-pipit lain untuk bertahan hidup, tak jarang aku kelaparan karena kalah bersaing. Sedangkan kamu bisa mendapatkan semuanya tanpa harus bersusah payah, hanya dengkuranmu itu yang diharapkan Nyonyamu”.

“Iya Pit, aku tahu harusnya aku bersyukur. Tapi aku juga ingin melihat dunia, memperkaya wawasanku. Aku ingin melihat banyak hal, tak hanya pandangan yang dibatasi sangkarku ini saja”.

“Aku malah ingin sepertimu, aku lelah harus bersaing setiap hari hanya untuk mengenyangkan tembolokku. Aku ingin dipuja manusia, sehingga semua kebutuhanku terpenuhi. Aku ingin jadi burung yang dianggap istimewa. Aku ingin kicauanku dianggap berharga”.

Pipit dan Perkutut pun terdiam, dan saling berpandangan. Lalu mereka pun tergelak.
“Hahahahaha kurrr kurrr ternyata kita mahluk yang tak kenal arti kata bersyukur ya. Kita selalu mendambakan hidup mahluk lain. Seperti kata Nyonyaku, Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. “
“Iya ya, aku menginginkan hidupmu, kau menginginkan hidupku. Sungguh lucu, mungkin ironis. Mengapa ya mahluk Tuhan seperti kita ini tak pernah bersyukur.”
“Kalau dipikir lagi, mengapa Tuhan menciptakan mahluknya berbeda-beda? Mungkin supaya kita semua bisa saling berbagi cerita dan pengetahuan, dan akhirnya dari situ kita bisa merasa ‘kaya’ ”.

Pipit dan perkutut bertukar pandang dan tesenyum. Pipit pun mengucapkan terima kasih, dan pamit pada Perkutut. Mereka pun kembali menjalani hari-harinya, dan tidak lupa untuk mensyukuri apa yang mereka punya.

note: mendengkur as in suara perkutut, bukan ngorok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar